Flash News

Sumber Informasi Tanpa Basa Basi

Mail Instagram Pinterest RSS
Main Menu

Kekerasan Terhadap Anak, Berujung Penyesalan

Salam inspiratif...

Pernahkan anda menghukum, mendisiplinkan, ngomei atau memarahi orang lain?
Jawabanya pasti pernah ! Agar tulisan ini tidak terlalu panjang dan "ngalor-ngidul" kesana kemari, kita mulai dengan menyimak cerita inspiratif berikut..
Ini kisah nyata, bukan legenda apalagi dongeng sebelum tidur. Dikisahkan ada seorang keluarga kaya yang dikarunia anak lelaki bernama Dzaflin. Ia baru berumur empat tahun. Anaknya ganteng alias tampan, lucu dan manis. Kedua orang tuanya adalah penggedhe alias kongklomerat, pengusaha terpandang . Rutinitas keseharian, suami-istri yang super sibuk itu meninggalkan Dzaflin untuk bekerja.., bekerja dan bekerja . Tentu saja si Dzaflin kecil ini ditinggal bersama sang pembantu di rumah.
Namanya juga anak-anak yang suka mengeksplorasi diri, begitupun juga dengan si kecil Dzaflin. Sambil bermain dia mencoret-coret tanah di halaman dengan lidi, sementara pembantunya sedang menjemur kain di dekat garasi. Puas menggambar di tanah, ia pun menemukan paku berkarat dan mengincar mobil ayahnya yang hitam mengkilat sebagai sasaran grafity berikutnya. Benar saja, dengan gaya lucunya ia mencoret sesukanya hingga mobil ayahnya yang keramat dan jarang dipakai itu plorang-ploreng tidak karuan.
Di saat yang sama ayah dan ibunya pulang dari kantor. Seperti biasa Dzaflin langsung menyongsong kepulangan orang tuanya dengan manja. Ia pun dengan bangga menunjukan karyanya di mobil hitam mengkilat itu. Bagai tersambar petir di pagi hari, sang Ayah langsung murka. Pertama kali yang kena damprat tentu saja si pembantu yang telah lalai menjaga Dzaflin. Kemudian giliran si kecil yang tampan ikut dihukum. Mulai dari ngomei, memaki, membentak, hingga demi mendisiplinkan sang anak, kata-kata keras saja belum cukup. Dipukul juga punggung, kaki dan tangan Dzaflin dengan apa yang dijumpai. Mulai dari digitik pakai ranting, lidi, hingga mistar. Si kecil Dzaflin hanya bisa menangis memohon ampun dan mengaduh kesakitan. Ironisnya, sang Ibu justru mendiamkan, seolah merestui bahwa itu tindakan baik demi menegakkan disiplin.
Setelah puas mendisiplinkan anaknya, sang Ayah meminta membantunya untuk membawa Dzaflin ke kamar. Bagai teriris gaman yang tajam, sang pembantu dengan pilu membawa Dzaflin ke kamar. Malamnya, Dzaflin demam, suhu badanya panas. Ia menangis kesakitan. Ketika dikabarkan pada ayah-budanya, mereka hanya menyuruh sang pembantu untuk mengolesi betadine dan perban yang luka. Esoknya, sang orang tua tetap bekerja seperti biasanya. Hingga tiga hari berlalu, suhu badan Dzaflin semakin meninggi. Tangan kanannya yang luka bengkak dan memerah. Sang pembantu panik dan menelphon juraganya di kantor. Segera saja mereka panik dan lekas membawa Dzaflin ke rumah sakit.
Hingga diagnosis Dokter menyimpulkan bahwa demam tubuh Dzaflin akibat infeksi luka di tanganya. Yang mengejutkan, tak ada pilihan lain. Dokter menyarankan tangan kanan Dzaflin diamputasi agar infeksinya tidak menjar ke seluruh tubuh. Orang tua Dzaflin hanya bisa menangis dan menyesal.
“Tangan Dzaflin dimana Ayah?... ampun ayah..., Dzaflin tidak akan nakal lagi.. kembalikan tangan Dzaflin Ayah...”, isak Dzaflin saat tahu tangan kananya sudah tidak ada.
***
Bagaimana anda menyimak kisah ini?. Ya, kadang kala guna memperbaiki kesalahan dan medisiplinkan orang lain, kita menggunakan opsi hukuman dan kekerasan. Padahal ini adalah cara yang sangat tidak pantas, tidak efektif, dan justru merugikan. Bagi anda yang punya adik, ponakan, atau putra-dan putri yang masih kecil, jangan sekali-kali mengajarkan kata-kata kasar apalagi kekerasan meskipun dengan alasan kebaikan dan mendisiplinkan anak. Juga dengan alasan kebenaran, misalkan mengajarkan anak untuk shalat. Coba, ajarilah dengan tauladan dan sikap yang baik. Masa anak-anak adalah masa yang lagi suka-sukanya meniru (imitation). Jadi kuncinya ajari anak dengan tauladan dan kebaikan. Bukan kemarahan dan kekerasan.
Juga bagi sahabat yang berprofesi sebagai Pak Guru, Bu Guru, dan pembina pramuka. Sangat tidak etis sekali di era saat ini masih menggunakan cara getek-sambit, pukul, siram air, dijemur di tengah panas dan hukuman fisik lain untuk mendisiplinkan peserta didik. Ingatlah tindakan preventif (mencegah) lebih baik dari mengobati (kuratif). Jadi cegahlah peserta didik dari kesalahan dengan tauladan dan contoh sikap bijak. Ajari budaya santun, hormat, tunduk dan patuh pada guru. Bukan mengajari gaya preman dan main takut-menakuti. Hukuman dan kekerasan adalah opsi paling terakhir dan saat terpaksa. Jadi, utamakan keteladan daripada menghukum orang lain...
Karena keteladan dan kebaikan akan menciptakondisikan kenyamanan dan kedamaian. Semoga menginspirasi. Wallahu A’lam Bi Shawab.

Author : Ismavean