Salam inspiratif...
Pernahkan anda
menghukum, mendisiplinkan, ngomei atau memarahi orang lain?
Jawabanya pasti
pernah ! Agar tulisan ini tidak terlalu panjang dan "ngalor-ngidul" kesana
kemari, kita mulai dengan menyimak cerita inspiratif berikut..
Ini kisah nyata,
bukan legenda apalagi dongeng sebelum tidur. Dikisahkan ada seorang keluarga
kaya yang dikarunia anak lelaki bernama Dzaflin. Ia baru berumur empat tahun.
Anaknya ganteng alias tampan, lucu dan manis. Kedua orang tuanya adalah
penggedhe alias kongklomerat, pengusaha terpandang . Rutinitas keseharian,
suami-istri yang super sibuk itu meninggalkan Dzaflin untuk bekerja.., bekerja
dan bekerja . Tentu saja si Dzaflin kecil ini ditinggal bersama sang pembantu
di rumah.
Namanya juga
anak-anak yang suka mengeksplorasi diri, begitupun juga dengan si kecil
Dzaflin. Sambil bermain dia mencoret-coret tanah di halaman dengan lidi,
sementara pembantunya sedang menjemur kain di dekat garasi. Puas menggambar di
tanah, ia pun menemukan paku berkarat dan mengincar mobil ayahnya yang hitam
mengkilat sebagai sasaran grafity berikutnya. Benar saja, dengan gaya lucunya
ia mencoret sesukanya hingga mobil ayahnya yang keramat dan jarang dipakai itu
plorang-ploreng tidak karuan.
Di saat yang sama
ayah dan ibunya pulang dari kantor. Seperti biasa Dzaflin langsung menyongsong
kepulangan orang tuanya dengan manja. Ia pun dengan bangga menunjukan karyanya
di mobil hitam mengkilat itu. Bagai tersambar petir di pagi hari, sang Ayah
langsung murka. Pertama kali yang kena damprat tentu saja si pembantu yang
telah lalai menjaga Dzaflin. Kemudian giliran si kecil yang tampan ikut
dihukum. Mulai dari ngomei, memaki, membentak, hingga demi mendisiplinkan sang
anak, kata-kata keras saja belum cukup. Dipukul juga punggung, kaki dan tangan
Dzaflin dengan apa yang dijumpai. Mulai dari digitik pakai ranting, lidi,
hingga mistar. Si kecil Dzaflin hanya bisa menangis memohon ampun dan mengaduh
kesakitan. Ironisnya, sang Ibu justru mendiamkan, seolah merestui bahwa itu
tindakan baik demi menegakkan disiplin.
Setelah puas
mendisiplinkan anaknya, sang Ayah meminta membantunya untuk membawa Dzaflin ke
kamar. Bagai teriris gaman yang tajam, sang pembantu dengan pilu membawa
Dzaflin ke kamar. Malamnya, Dzaflin demam, suhu badanya panas. Ia menangis
kesakitan. Ketika dikabarkan pada ayah-budanya, mereka hanya menyuruh sang
pembantu untuk mengolesi betadine dan perban yang luka. Esoknya, sang orang tua
tetap bekerja seperti biasanya. Hingga tiga hari berlalu, suhu badan Dzaflin
semakin meninggi. Tangan kanannya yang luka bengkak dan memerah. Sang pembantu
panik dan menelphon juraganya di kantor. Segera saja mereka panik dan lekas
membawa Dzaflin ke rumah sakit.
Hingga diagnosis
Dokter menyimpulkan bahwa demam tubuh Dzaflin akibat infeksi luka di tanganya.
Yang mengejutkan, tak ada pilihan lain. Dokter menyarankan tangan kanan Dzaflin
diamputasi agar infeksinya tidak menjar ke seluruh tubuh. Orang tua Dzaflin
hanya bisa menangis dan menyesal.
“Tangan Dzaflin
dimana Ayah?... ampun ayah..., Dzaflin tidak akan nakal lagi.. kembalikan
tangan Dzaflin Ayah...”, isak Dzaflin saat tahu tangan kananya sudah tidak ada.
***
Bagaimana anda
menyimak kisah ini?. Ya, kadang kala guna memperbaiki kesalahan dan
medisiplinkan orang lain, kita menggunakan opsi hukuman dan kekerasan. Padahal
ini adalah cara yang sangat tidak pantas, tidak efektif, dan justru merugikan.
Bagi anda yang punya adik, ponakan, atau putra-dan putri yang masih kecil,
jangan sekali-kali mengajarkan kata-kata kasar apalagi kekerasan meskipun
dengan alasan kebaikan dan mendisiplinkan anak. Juga dengan alasan kebenaran,
misalkan mengajarkan anak untuk shalat. Coba, ajarilah dengan tauladan dan
sikap yang baik. Masa anak-anak adalah masa yang lagi suka-sukanya meniru
(imitation). Jadi kuncinya ajari anak dengan tauladan dan kebaikan. Bukan
kemarahan dan kekerasan.
Juga bagi sahabat
yang berprofesi sebagai Pak Guru, Bu Guru, dan pembina pramuka. Sangat tidak
etis sekali di era saat ini masih menggunakan cara getek-sambit, pukul, siram
air, dijemur di tengah panas dan hukuman fisik lain untuk mendisiplinkan
peserta didik. Ingatlah tindakan preventif (mencegah) lebih baik dari mengobati
(kuratif). Jadi cegahlah peserta didik dari kesalahan dengan tauladan dan
contoh sikap bijak. Ajari budaya santun, hormat, tunduk dan patuh pada guru.
Bukan mengajari gaya preman dan main takut-menakuti. Hukuman dan kekerasan
adalah opsi paling terakhir dan saat terpaksa. Jadi, utamakan keteladan
daripada menghukum orang lain...
Karena keteladan
dan kebaikan akan menciptakondisikan kenyamanan dan kedamaian. Semoga
menginspirasi. Wallahu A’lam Bi Shawab.
Author : Ismavean









