Siapa yang tidak mengenal putra sulung penyanyi kondang Ahmad Dhani dengan mantan istrinya Maia Estianti. Ya, dialah Al Ghazali atau akrab dipanggil Al. Remaja berusia enam belas tahun itu kini tengah naik daun dan popularitasnya di kalangan remaja tak diragukan lagi.
Selain pengaruh nama
besar Ayahnya, Al memiliki wajah tampan yang menyihir gadis-gadis remaja untuk
berdecak kagum. Tak heran jika di berbagai stasiun televisi dalam acara talk show, banyak yang histeris
menyambut kedatangan Al. Hampir-hampir kisah Nabi Yusuf terulang di era
kotemporer yang menyanjung budaya
glamour dan popularitas.
Publik kembali
tersentak saat euforia Pemilu Legislatif bulan April kemarin, Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) berniat menjadikan Al putra Ahmad Dhani sebagai salah
satu juru kampanye. Wacana PKB tersebut disikapi banyak pihak, mulai dari KPU,
pengamat politik, hingga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Maklum, Al
belum berusia 17 tahun dan tentu belum
memiliki hak pilih.
Peristiwa yang ikut
mewarnai riuh-redam kondisi politik pra dan pasca pemilihan legislatif itu
tentu saja menyisakan pelajaran politik yang cukup berharga. Ada pesan tersirat
yang bisa kita pahami dari wacana yang bergulir untuk melibatkan Al dalam
kampanye sebuah partai politik. Ini menandakan, praktik politik di negeri ini
masih dalam tataran pragmatisme yang sangat sempit. Melibatkan artis kondang
guna menarik simpati rakyat adalah tindakan kurang etis dan justru menambah kesemprawutan demokrasi.
Parahnya, hampir semua partai politik melibatkan industri public
figure dalam kampanye Pileg kemarin. Mulai dari penyanyi dangdut ibu kota
hingga bintang sinetron menjadi andalan untuk menarik perhatian publik secara
massif. Dan lihatlah, kita menyaksikan tokoh elite politik, Caleg bahkan para
capres bukan lagi menjadi icon politik dalam menarik simpati, melainkan hanya
sebagai dagelan yang tidak dihiraukan masa. Ada cerita lucu, saat penyanyi
dandut berlenggak-lenggok di atas panggung, massa begitu antusias mengikuti
jalanya kampanye. Giliran tiba caleg dan elit politik menyampaikan visi dan
misi, masa-pun bubar.
Lalu, apakah yang hendak diberikan partai politik pada
masyarakat? Apakah hiburan dengan menampilkan sederet artis papan atas guna
mengeruk masa? Menghadirkan artis yang tampan dan rupawan guna menggaet pemilih
pemula?
Seharusnya, partai
politik tidak terjebak dalam sengkarut jualan popularitas artis untuk menarik
simpati publik. Dan kita beruntung, wajah tampan dan pesona Al Ahmad Dhani
tidak jadi menghiasi agenda kampanye. Al Ghazali putra sulung Ahmad Dhani hanya sample premis mayor betapa pentingnya popularitas dalam praktik berpolitik di negeri ini.
Author : Ady Ismavean








