Pernahkah mendengar
kisah tentang Negeri 5 Menara? Bagi penikmat film, pasti sudah tidak asing
dengan kisah lima sahabat yang dijuluki shahibul menara. Digubah dari
novel dengan judul yang sama karya penulis A. Fuadi. Berikut resensi sekaligus
inspirasi dari Negeri Lima Menara.
Adalah lembaga
pendidikan bernama Pondok Madani (aslinya adalah Pondok Modern, Gontor,
Ponorogo, Jawa Timur) yang mengisahkan perjalanan lima sahabat bernama Alif
Fikri, Said, Raja, Baso, dan Atang. Mereka datang ke Pondok Madani dari
berbagai penjuru.
Tokoh utama, Alif
Fikri adalah lulusan Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTs) asal Maninjau, Sumatera
Barat yang mutung kepada amaknya
karena tidak boleh melanjutkan ke SMA impianya. Ia justru dipaksa
melanjutkan ke sekolah berbasis agama. Dengan setengah hati, ia memutuskan
untuk hijrah ke pelosok Jawa Timur dan menimba ilmu di sebuah
desa di atas bukit. Itulah Pondok Madani. Alif berangkat dengan membawa rasa
kesal dan iri, karena teman sekelas sekaligus saingan beratnya di MTs, Randai,
melenggang bebas masuk ke SMA favorit.
Singkat cerita,
Pondok Madani menyuguhkan pendidikan
yang penuh disiplin, keras, dan menginspirasi. Hadiah pertama masuk asrama bagi
lima sahabat itu adalah dijatuhi hukuman karena terlambat mengikuti shalat
Magrib berjamaah.
Kemudian sosok
ustadz Salman yang mempresentasikan
kalimat ajaib “Man Jada Wa Jada”, pepatah Arab yang artinya “siapa yang
bersungguh-sungguh, pasti berhasil”. Ustad Salman membuktikan teori itu dengan
membawa sebatang kayu untuk dipatahkan dengan golok yang tumpul lagi berkarat.
Seperti hal yang mustahil. Nyatanya, dengan kesungguhan dan pantang menyerah, dalam
kelelahan sepotong kayu itu akhirnya patah menjadi dua bagian.
Kekaguman pembaca akan
situasi belajar Pondok Madani semakin bertambah ketika Alif dan keempat
sahabatnya mempelajari bahasa Arab dan bahasa Inggris sebagai bahasa keseharian
asrama. Pantang menyerah, tekun, dan berani melakukan lebih adalah tindakan
ampuh untuk memungkinkan apa yang kelihatanya tidak mungkin.
“Jika orang lain
melakukan 10, maka kita harus melakukannya lebih banyak lagi. Jika orang biasa
hanya sanggup belajar tiga halaman, kita harus lima sampai sepuluh halaman. Kita
adalah orang luar biasa yang tidak suka diperlakukan biasa. Dan kita adalah
istimewa, bukan orang biasa.”
Kelima sahabat ini
dijuluki shahibul menara karena hobi mereka berdiskusi, bercerita, dan berbagi
rasa di bawah menara masjid. Di sini
tergambar begitu indah kisah persahabatan mereka. Senang, susah, hingga duka
dan haru menjadi alur sistematis yang sangat layak dinikmati pecinta sastra
fiksi.
Di akhir cerita,
negeri lima menara memilih happy ending alias akhir yang bahagia. Alif
menjadi wartawan senior di Whasington, Amerika Serikat. Mimpi dan harapanya berkarya di benua temuan
Chirstoper Colombus itu terwujud berkat kalimat ajaib “ Man Jadda Wa Jada”.
Bagaimana kisah empat
sahabat lainya? Simak saja sendiri ceritanya dengan membeli novel di toko buku
terdekat.
Salam Inspirasi.
Author : Ismavean









