Di tahun politik ini,
sejatinya masyarakat Indonesia dalam kebimbangan. Antara asa dan
ketidakpastian, antara harapan dan janji palsu elit partai yang turut pentas dalam panggung dagelan
Pemilu 2014. Ya, kebimbangan, skeptis, bahkan apatisme ketidakpedulian sama sekali.
Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden yang akan digelar pada 9 Juli mendatang tentu saja
menguras energi, pemikiran, finansial
dan pengorbanan non materil yang tidak sedikit. Indonesia juga dalam
bayang-bayang dis-stabilitas keamanan dan politik pra dan pasca Pilpres digelar.
Entah berapa triliun semua pengorbanan
itu-baik imateril maupun finansial- jika
dikonversi menjadi angka-angka rupiah. Sementara masyarakat kelas bawah (yang
merupakan mayoritas) sudah jemu, jenuh dan bosan dengan aneka pemilihan
langsung yang tidak memberikan efek signifikan terhadap peningkatan kualitas
hidup.
Di sisi lain,
momentum Pilpres bertepatan dengan datangnya bulan suci Ramadhan 1435 Hijriyah.
Lonjakan harga kebutuhan pokok (sembako), sayuran, dan komoditas industri tidak
bisa dianggap remeh. Bayang-bayang inflasi yang cukup tinggi mengharuskan semua
terdampak ekonomi untuk bersiap-siap. Karena ramadhan selalu menyajikan data
fantastis, mulai dari tingginya daya beli atau permintaan (demand), beredarnya uang tunai yang melonjak secara signifikan,
dan korporasi yang memanfaatkan momentum “madu ramadhan” dengan sebaik-baiknya.
Ramadhan menghadirkan budaya konsumtif dan “jor-joran” yang sangat
menguntungkan industri.
Belum lagi soal
mobilitas fisik secara massif dalam
tradisi mudik lebaran di Indonesia. Infrastruktur jalan, kondisi angkutan,
hingga potensi kecelakaan transportasi masih saja menjadi pekerjaan rumah yang
seolah enggan terselesaikan. Juli 2014 adalah masa “Ujian Nasional” bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Ancaman kerusuhan
Pilpres, inflasi kebutuhan pokok serta problematika seputar
Ramadhan harus dihadapi dengan optimis dan bijak oleh seluruh kalangan.
Apalagi, wacana redominasi atau penyederhanaan mata uang juga akan diberlakukan
dalam waktu dekat diprediksi akan menambah karut-marut kondisi ekonomi dan
sosial.
Dan yang perlu kita
lakukan adalah tetap menjaga harmoni ketentraman pra dan pasca Pilpres. Saling menghormati
pilihan dan bersikap proporsional dalam mendukung Capres pilihan kita. Kemudian
kurangi gaya hidup konsumtif dan “jor-joran” dalam menyambut datangnya bulan
ramadhan. Pesan moral yang dibawa oleh ramadhan adalah kebersamaan dan
kedekatan terhadap sesama serta
peningkatan kualitas ibadah. Bukan memborong dan menyulap jalanan menjadi pasar
atau membuat penuh sesak pusat perbelanjaan. Marhaban ya Syahra Ramadhan bagi
umat muslim yang menyambutnya.
Author : Adi Esmawan, Pengamat Sosial









