Sebagai manusia, kita
belum mati rasa. Sehingga duka dari
anak-anak Palestina lebih dari cukup untuk mengetuk nurani agar turut berempati.
Kita menempatkanya dalam ranah kemanusiaan (humanisme), belum pada tataran
agama apalagi keimanan. Sebagai sesama manusia saja, kita sudah perih,
nelangsa, jengah, dan sangat bosan melihat deretan tragedi memilukan di
bumi Baitulmaqdis, atau Baitulahmi, atau
Baitlehm. Tempat suci bagi tiga agama samawi.
Bagaimana hati tidak
pilu, sejak 1987 sudah berapa darah dan nyawa anak-anak yang menjadi tumbal
perjuangan? Berapa juta kehidupan yang dipaksa berakhir meski atas nama perang
suci? Dan kini di warsa 2014, ketika barat mendengungkan perdamaian, kebebasan
dan kenyamanan, mengapa itu tidak berlaku bagi saudara-saudara kami nun jauh
di jazirah Palestin?
Setiap hari, pasti
terdengar tangis ibu kehilangan anaknya, anak kehilangan bapaknya. Saban jam,
balita dan remaja tersandera oleh kekalutan dan kekhawatiran. Dan tiap menit
bahkan detik, jiwa-jiwa suci nun polos bernafas dalam ketakutan dan bertahan
dalam abnormalitas kehidupan.
Darah berceceran di
jalan-jalan, jeritan tangis di gang-gang, duka menyayat di rumah-rumah, di
kantor-kantor, di sudut pengungsian, itulah pemandangan umum di jalur Gaza. Tak
ada tidur nyenyak, tak ada kegembiraan di hati balita dan anak-anak. Semuanya takut,
jika sewaktu-waktu ada bom nyasar dan peluru muncrat dari moncong senapan.
Aroma mesiu dan serpihan ledakan adalah helaan nafas. Tidak ada ketentraman,
apalagi kebebasan berekspresi. Roket dan rudal adalah ancaman.
Konflik Israel –
Palestina memang belum berakhir, atau tak kunjung berakhir dan hampir tidak
mungkin berakhir. Kekejaman tentara Israel adalah penegasan atas keyakinanya
sebagai umat terpilih untuk merebut tanah yang dijanjikan. Dan itu termaktub
dalam kitab Talmud yang mereka yakini. Palestin harus direbut, dari tangan
siapapun. Korban berapapun.
Sementara warga
Palestina juga tetap bersikukuh, bahwa Zionis Israel adalah laknat. Membunuh
Yahudi adalah jihad. Anak-anak, remaja yang tampan dan belia, pun
perempuan-perempuan tak peduli gadis maupun renta, dipaksa untuk melakukan intifadoh,
perjuangan suci melawan kedzaliman. Keduabelah pihak bersikukuh dalam
kebenaran, sampai kapan?
Persoalan Palestina
dan Gaza bukan perkara sederhana. Sudah merambah keyakinan dan harga diri,
bukan semata perebutan tanah dan hak antar warga negara. Kedaulatan, martabat,
dan kesucian ajaran langit tidak bisa dihentikan hanya oleh kecaman apalagi
sanksi dari PBB yang berat sebelah.
Kita berdo’a saja,
semoga anak-anak balita, remaja tampan yang belum tau apa-apa, ibu-ibu yang
masih berharap membesarkan anaknya, segera saja dapat menyelamatkan
mimpi-mimpinya. Ketenangan dan ketentraman hidup adalah hak manusia. Tak ada
yang boleh mengusiknya. Satukan suara untuk kecam segala tindak kekerasan,
pembantaian dan kejahatan perang di Palestina.
Kemudian, sebagai
warga yang hidup dalam ketenangan di pelosok dukuh nun terpencil. Atau
saudara-saudaraku di kota-kota yang gemerlap di bumi Indonesia, bersyukurlah.
Indonesia adalah tanah yang telah dijanjikan Tuhan untuk hidup kita : kini,
nanti dan selamanya. Lalu, nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kamu dustakan?









