Polemik seputar pergantian nama Kementerian
Agama menjadi Kementerian Urusan Wakaf, Haji dan Umroh pernah dilontarkan oleh
Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siraj dalam dua bukunya Kyai Menggugat dan
Islam Kebangsaan yang terbit tahun 1999 pasca reformasi. Bahkan jauh
sebelum itu, gagasan penghapusan Departemen Agama (sekarang Kemenag), sudah
ditiupkan ketika Orde Baru masih berkuasa dan menterinya masih dijabat oleh
Tarmizi Taher.
Kini, wacana itu kembali mencuat ketika presiden terpilih hendak membentuk
konstruksi struktur kabinet. Masukan dan pandangan dari sebagian kaum
intelektual kembali mengusulkan untuk mengganti nama Kementerian Agama menjadi
Kementerian Urusan Wakaf, Haji dan Umroh.
Dalam beberapa media online ternama, Menteri
Agama Lukman Hakim Saefudin tegas menolak dan tidak setuju pergantian nama
kementerian agama, seperti perubahan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
menjadi dua kementerian. Pada Kabinet pimpinan Ir. H. Joko Widodo mendatang,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan dibelah menjadi dua, yaitu
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, serta Kementerian Pendidikan Tinggi
dan Riset. Sementara “Kebudayaan” entah dibuang kemana.
Gagasan perubahan Kementerian Agama
didengungkan oleh kaum liberal dan sekuler yang berpemahaman bahwa agama bukan
urusan negara. Jadi pemisahan antara negara dan agama adalah mutlak sehingga
kehadiran Kementerian Agama dianggap merecoki hak individu dalam beragama.
Padahal, seharusnya negara mewadahi dan
melindungi warga negara dengan tetap mempertahankan keberadaan Kementerian
Agama dan kewenanganya. Sementara masalah internal Kementerian diselesaikan secara
teknis, bukan dengan mengganti.
Namun presiden terpilih Joko Widodo turut
membantah pergantian nama Kementerian Agama. Kepastianya, kita tunggu setelah
duapuluh oktober mendatang.
Penulis : Adi Esmawan









