![]() |
| Liga Djarum Junior, Sumber google.com |
Saat menyaksikan perhelatan olahraga,
penonton hanya mengharapkan sebuah kemenangan dari permainan, bukan memetik
keluhuran apalagi nilai sportivitas pertandingan. Alhasil, kita dapati sikap
kekanak-kanakan dari para suporter, para pemain
hingga peserta (kontingen) dan penyelenggara pertandingan.
Kemenangan adalah segalanya, seolah
menjadi sebuah jargon yang harus
berwujud menjadi kenyataan. Budaya instan, curang dan yang penting menang
menjadi panglima dalam setiap perhelatan ajang olahraga di negeri ini.
Mulai dari pekan olahraga kabupaten,
pekan olahraga provinsi, pekan olahraga nasional, pertandingan liga-liga nasional dan kejuaraan
bergengsi, kita akan mendapati tontonan kekanak-kanakan dari waktu ke waktu.
Budaya instan dan yang penting menang,
pertama ditunjukan oleh sewa pemain handal dari daerah lain. Hanya demi
mendulang tropi dan medali yang katanya mengharumkan nama daerah, sudah menjadi
rahasia umum adalah dengan mendatangkan pemain berkelas dari luar daerah. Untuk
pertandingan kejuaraan non daerah, mungkin hal ini dilegalkan. Lalu bagaimana
dengan kejuaraan yang membawa nama daerah seperti PORKAB, PROPROV, dan PON?
Budaya instan kedua adalah maraknya
atlet yang memakai obat stimulan (dopping) untuk mewujudkan kemenangan. Bahkan
di level internasional, berapakah atlet olimpiade yang sudah mengembalikan
medali dan gelar kejuaraanya gara-gara bersikap tidak fair seperti ini?
Budaya instan selanjutnya adalah
pendanaan yang dipaksakan hanya untuk memenuhi hasrat operasional
penyelenggaraan. Kasus penyelewengan dana hibah untuk Komite Olahraga Nasional
(KONI) di berbagai daerah, korupsi wisma atlet, hambalang dan sederet kasus di
dunia olahraga kita setidaknya membuktikan betapa ruwet dan kemprungsungnya
dunia olahraga di negeri ini. Padahalan, anggaran negara yang dialokasikan
untuk sektor olahraga cukup besar.
Olahraga yang sejatinya bertujuan
untuk menyehatkan badan dan merefresh pikiran menjelma menjadi industri
raksasa yang melahirkan budaya baru transaksional dan komersialisasi olahraga.
Motto memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat hanya
omong kosong para pembual kebijakan!
Belum lagi soal fanatisme antar klub
kesebelasan yang berbuah konflik dan kekerasan. Sungguh, ini adalah gelagat
mengkhawatirkan. Olahraga yang seharusnya mendewakan sportivitas dan keluhuran
kejujuran menjelma menjadi sarang para penyembah gengsi, hedonisme dan pemuja
kemenangan semu.
Penulis
: Adi Esmawan, Pengamat Sosial dan Kebudayaan









