Flash News

Sumber Informasi Tanpa Basa Basi

Mail Instagram Pinterest RSS
Main Menu

Menyoal Sportivitas Dunia Olahraga Kita

Liga Djarum Junior, Sumber google.com
Saat menyaksikan perhelatan olahraga, penonton hanya mengharapkan sebuah kemenangan dari permainan, bukan memetik keluhuran apalagi nilai sportivitas pertandingan. Alhasil, kita dapati sikap kekanak-kanakan dari para suporter, para pemain  hingga peserta (kontingen) dan penyelenggara pertandingan.

Kemenangan adalah segalanya, seolah menjadi sebuah  jargon yang harus berwujud menjadi kenyataan. Budaya instan, curang dan yang penting menang menjadi panglima dalam setiap perhelatan ajang olahraga di negeri ini.

Mulai dari pekan olahraga kabupaten, pekan olahraga provinsi, pekan olahraga nasional,  pertandingan liga-liga nasional dan kejuaraan bergengsi, kita akan mendapati tontonan kekanak-kanakan dari waktu ke waktu.

Budaya instan dan yang penting menang, pertama ditunjukan oleh sewa pemain handal dari daerah lain. Hanya demi mendulang tropi dan medali yang katanya mengharumkan nama daerah, sudah menjadi rahasia umum adalah dengan mendatangkan pemain berkelas dari luar daerah. Untuk pertandingan kejuaraan non daerah, mungkin hal ini dilegalkan. Lalu bagaimana dengan kejuaraan yang membawa nama daerah seperti PORKAB, PROPROV, dan PON?

Budaya instan kedua adalah maraknya atlet yang memakai obat stimulan (dopping) untuk mewujudkan kemenangan. Bahkan di level internasional, berapakah atlet olimpiade yang sudah mengembalikan medali dan gelar kejuaraanya gara-gara bersikap tidak fair seperti ini?

Budaya instan selanjutnya adalah pendanaan yang dipaksakan hanya untuk memenuhi hasrat operasional penyelenggaraan. Kasus penyelewengan dana hibah untuk Komite Olahraga Nasional (KONI) di berbagai daerah, korupsi wisma atlet, hambalang dan sederet kasus di dunia olahraga kita setidaknya membuktikan betapa ruwet dan kemprungsungnya dunia olahraga di negeri ini. Padahalan, anggaran negara yang dialokasikan untuk sektor olahraga cukup besar.

Olahraga yang sejatinya bertujuan untuk menyehatkan badan dan merefresh pikiran menjelma menjadi industri raksasa yang melahirkan budaya baru transaksional dan komersialisasi olahraga. Motto memasyarakatkan olahraga  dan mengolahragakan masyarakat hanya omong kosong para pembual kebijakan!

Belum lagi soal fanatisme antar klub kesebelasan yang berbuah konflik dan kekerasan. Sungguh, ini adalah gelagat mengkhawatirkan. Olahraga yang seharusnya mendewakan sportivitas dan keluhuran kejujuran menjelma menjadi sarang para penyembah gengsi, hedonisme dan pemuja kemenangan semu.


Penulis : Adi Esmawan, Pengamat Sosial dan Kebudayaan