Flash News

Sumber Informasi Tanpa Basa Basi

Mail Instagram Pinterest RSS
Main Menu

Ayo Kerja dan 70 Tahun Indonesia

Slogan “ayo kerja” yang menjadi tema Dirgahayu Kemerdekaan RI ke-70 hendaknya benar-benar menjadi gerakan nasional yang massif dan mengakar. Bukan masalah betapa sulitnya lapangan pekerjaan saat ini atau angka pengangguran yang berbanding terbalik dengan ketersediaan lapangan kerja. Bukan itu. "Ayo kerja" mestinya dimaknai sebagai ajakan untuk berkarya dan berkreasi setiap anak bangsa.

“Ayo kerja” adalah dorongan sekaligus ajakan untuk menggenjot produktifitas. Memang, bangsa ini lebih banyak berperan sebagai konsumen daripada produsen. Entah karena negeri ini masuk nominasi juara  jumlah penduduk terbanyak di dunia, atau karena memang sejak awal mental kita adalah mental “pemakai” bukan “pembuat”. Jadi  gerakan nasional “ayo kerja” yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi kita anggap “tepat” dan “relevan”.

Tapi, jangan sampai “Ayo Kerja” hanya berhenti pada slogan di spanduk-spanduk dan banner belaka. Peningkatan produktifitas kerja harus dicontohkan mulai dari kalangan elit pejabat, birokrasi, dan juga partai politik dalam hal ini wakil kita di DPR. Jangan sampai, mereka yang menjadi penggagas “ayo kerja” justru memberikan tauladan malas, kerja tidak becus, rapat paripurna melompong, kinerja PNS asal absen dan sederet contoh tidak baik lainnya.

Peningkatan produktifitas juga harus berbanding lurus dengan meminimalisir konsumsi alias efisiensi. Ironisnya, pemerintah Jokowi justru selalu mendorong konsumsi dalam negeri dengan alasan pertumbuhan ekonomi. Ini pragmatis sekali. Mulai dari pembebasan pajak, pengurangan bea cukai dan bea impor, hingga mempermudah barang-barang dari luar untuk melenggang bebas masuk di pasar Indonesia.

Artinya, kita disuguhi produk-produk dari berbagai negara untuk kita beli, untuk kita makan. Kita disuruh mengkonsumsi, kalau perlu sebanyak-banyaknya hanya karena alasan pertumbuhan ekonomi. Mulai dari produk makanan hingga produk otomotif dan elektronik. Sekali lagi, alasanya demi pertumbuhan ekonomi. Ini bukan masalah hukum Internasional tentang pasar bebas, karena negara manapun berhak memberikan aturan yang "ketat" dan "memihak" rakyat dalam persaingan perdagangan lintas bangsa.

Ini bahaya sekali. Mental kita digiring untuk membeli ini dan itu. Daya beli kita disuruh untuk meningkat sedemikian rupa. Lhah yang untung siapa? Jelas saja para negara-negara produsen. Kita dapat apa? Wong bea cukai dan biaya impor saja diperkecil sedemikian rupa. Kebijakan ekonomi yang sesat dan menyesatkan!
Ah, tidak ada kebijakan yang sempurna. Sebagai  penumpang kapal besar bernama Indonesia yang sudah berumur 70 tahun, kita ngikut saja sama kebijakan nahkoda kapal dan awak-awaknya. Mau dibawa kemana, terserah mereka. Tanggung jawab mereka dunia dan akhirat. Tapi kalau kapal genting, setidaknya kita boleh teriak-teriak atau memberi saran pada nahkoda bukan? Tapi kembali terserah nahkoda. Kita tidak usah coba-coba merebut kemudi apalagi khianat, nanti malah terjadi perang di kapal dan ujung-ujungnya kapal rusak dan tenggelam.

Salam dirgahayu kemerdekaan RI yang ke-70.

Sumber gambar : metrotvnews