Slogan “ayo
kerja” yang menjadi tema Dirgahayu Kemerdekaan RI ke-70 hendaknya benar-benar menjadi
gerakan nasional yang massif dan mengakar. Bukan masalah betapa sulitnya
lapangan pekerjaan saat ini atau angka pengangguran yang berbanding terbalik
dengan ketersediaan lapangan kerja. Bukan itu. "Ayo kerja" mestinya dimaknai
sebagai ajakan untuk berkarya dan berkreasi setiap anak bangsa.
“Ayo kerja”
adalah dorongan sekaligus ajakan untuk menggenjot produktifitas. Memang, bangsa
ini lebih banyak berperan sebagai konsumen daripada produsen. Entah karena
negeri ini masuk nominasi juara jumlah
penduduk terbanyak di dunia, atau karena memang sejak awal mental kita adalah
mental “pemakai” bukan “pembuat”. Jadi gerakan nasional “ayo kerja” yang dicanangkan
oleh Presiden Jokowi kita anggap “tepat” dan “relevan”.
Tapi, jangan
sampai “Ayo Kerja” hanya berhenti pada slogan di spanduk-spanduk dan banner
belaka. Peningkatan produktifitas kerja harus dicontohkan mulai dari kalangan
elit pejabat, birokrasi, dan juga partai politik dalam hal ini wakil kita di
DPR. Jangan sampai, mereka yang menjadi penggagas “ayo kerja” justru memberikan
tauladan malas, kerja tidak becus, rapat paripurna melompong, kinerja PNS asal
absen dan sederet contoh tidak baik lainnya.
Peningkatan
produktifitas juga harus berbanding lurus dengan meminimalisir konsumsi alias
efisiensi. Ironisnya, pemerintah Jokowi justru selalu mendorong konsumsi dalam
negeri dengan alasan pertumbuhan ekonomi. Ini pragmatis sekali. Mulai dari
pembebasan pajak, pengurangan bea cukai dan bea impor, hingga mempermudah
barang-barang dari luar untuk melenggang bebas masuk di pasar Indonesia.
Artinya,
kita disuguhi produk-produk dari berbagai negara untuk kita beli, untuk kita makan.
Kita disuruh mengkonsumsi, kalau perlu sebanyak-banyaknya hanya karena alasan
pertumbuhan ekonomi. Mulai dari produk makanan hingga produk otomotif dan
elektronik. Sekali lagi, alasanya demi pertumbuhan ekonomi. Ini bukan masalah hukum Internasional tentang pasar bebas, karena negara manapun berhak memberikan aturan yang "ketat" dan "memihak" rakyat dalam persaingan perdagangan lintas bangsa.
Ini bahaya
sekali. Mental kita digiring untuk membeli ini dan itu. Daya beli kita disuruh
untuk meningkat sedemikian rupa. Lhah yang untung siapa? Jelas saja para
negara-negara produsen. Kita dapat apa? Wong bea cukai dan biaya impor saja
diperkecil sedemikian rupa. Kebijakan ekonomi yang sesat dan menyesatkan!
Ah, tidak
ada kebijakan yang sempurna. Sebagai
penumpang kapal besar bernama Indonesia yang sudah berumur 70 tahun,
kita ngikut saja sama kebijakan nahkoda kapal dan awak-awaknya. Mau dibawa
kemana, terserah mereka. Tanggung jawab mereka dunia dan akhirat. Tapi kalau
kapal genting, setidaknya kita boleh teriak-teriak atau memberi saran pada
nahkoda bukan? Tapi kembali terserah nahkoda. Kita tidak usah coba-coba merebut
kemudi apalagi khianat, nanti malah terjadi perang di kapal dan ujung-ujungnya
kapal rusak dan tenggelam.
Salam dirgahayu kemerdekaan RI yang ke-70.
Adi Esmawan, Editor Senior www.substansi.com
Sumber gambar : metrotvnews









