![]() |
| Guru dan siswa sedang membaca poster antihoax |
Indonesia masuk lima besar pengguna media sosial di dunia,
tepatnya urutan keempat untuk pengguna facebook dan peringkat lima untuk
pengguna twitter. Dalam hal ini patut berbangga, karena menandakan bahwa
masyarakat tergolong melek teknologi. Namun peringkat ini sangat kontradiksi
dengan budaya literasi masyarakat Indonesia. Dilansir dari satelitpost.com
Indonesia dalam hal budaya literasi ada di peringikat lima dari bawah, setelah Qatar,
Kuwait, Maroko, dan Afrika Selatan.
Budaya literasi erat kaitannya dengan penyebaran informasi
sesuai dengan fakta. Hal ini akan dapat meminimalisir penyebaran informasi yang
‘ngarang’ atau mengada-ada.
Kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami
informasi saat melakukan proses membaca dan menulis sangat dibutuhkan.
Membaca disini tidak hanya diartikan duduk manis, membuka
buku, dan mempelajarinya. Namun, membaca telah mengalami perluasan makna.
Memahami kondisi lingkungan sekitar pun dapat dikatakan sebagai membaca. Begitu
juga dengan menulis, tidak hanya menggunakan buku dan pulpen saja, namun ketika
seseorang memegang ponsel, mengirim pesan pun dikatakan sedang menulis. Maka,
luasnya makna menulis dan membaca harus diiringi dengan luasnya pengetahuan
akan sesuatu yang ditulis dan dibaca.
Kedua aktivitas menulis dan membaca juga melekat pada budaya
literasi yang saat ini sedang digencarkan dalam dunia pendidikan, terutama dalam
kurikulum 2013. Budaya literasi dikatakan sangat urgent bagi seluruh
lapisan masyarakat, tidak hanya kaum terpelajar saja. Terlebih dengan maraknya
informasi bohong (hoax) terutama di media sosial. Memahami lebih mendalam
tentang literasi, tidak hanya melek huruf saja namun juga harus melek visual,
artinya kita harus mampu untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan
secara visual bisa berupa video/gambar. Sehingga kita tidak mudah tergiur untuk
ikut-ikutan menyebarkan informasi hoax.
Kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi
pencitraan media dikatakan sebagai literasi media. Kemampuan untuk melakukan
hal ini ditujukan agar para konsumen media menjadi sadar (melek) tentang cara
media dibuat dan diakses.
Sebagai guru, sudah selayaknya menyebarkan virus membaca,
menulis, dan memahami di kalangan peserta didiknya. Apalagi saat ini
dibenturkan dengan penyebaran informasi yang sangat mudah, cepat, dan transparan. Ada ungkapan bahwa
kecepatan cahaya seolah kalah dengan cepatnya tangan kita menyebarkan informasi
melalui media sosial.
Perkembangan IPTEK yang demikian cepat memaksa guru untuk beradaptasi
dengan kondisi terkini. Purnomo (2008) menyatakan bahwa mendayagunakan
teknologi komunikasi dan informasi di sekolah adalah satu upaya untuk
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Informasi instan yang kini beredar
sangat cepat memaksa masyarakat untuk selalu mengupdate berita supaya dapat
dibedakan informasi yang sesuai fakta dan hoax. Namun dengan tersebarnya informasi
bohong atau yang tidak bisa dipertanggungjawabkan tentu akan menjadi kendala. Bahayanya
bisa membentuk opini masyarakat dan akhirnya mendiskreditkan salah satu pihak.
Kaum terpelajar jangan mau menjadi korban peruntungan bagi
mereka yang paham akan teknologi. Karena semakin banyak berita bohong yang
tersebar, semakin banyak yang mempercayainya, maka semakin banyak pula
korbannya. Belum lagi akibat yang akan dialami bagi penikmat berita ‘angin’. Pengguna
teknologi yang tidak pandai memilah-milah informasi bisa menjadi korban penyebaran
virus/mailware, kejahatan dunia maya,
pencurian, dan kriminalitas lainnya.
Hal yang harus dibenarkan apabila saat ini dikatakan sebagai
era media sosial maha dahsyat. Generasi muda kita adalah penikmat media sosial
paling aktif di antara negara-negara lain di Asia. Dilansir dari kompas,
CSIS, 2017 mencatat sebanyak 87,4 persen adalah pengguna aktif media sosial.
Tidak ada yang salah apabila media sosial yang kita gunakan memberi
kebermanfaatan, terlebih apabila membawa banyak keuntungan. Namun ternyata di
sisi lain pun dampak negatif mengikuti di belakangnya.
Contoh kasus pernah ada seorang
guru yang menshare di grup whatsapp sekolah informasi tentang produk
makanan yang beredar di Indonesia mengandung minyak babi. Gegerlah grup tersebut.
Seorang rekan guru menanggapi dengan menanyakan kevalidan informasi tersebut.
Si guru yang
menshare dengan mudah menjawab, “tidak tahu hanya mendapat dari grup sebelah.”
Dalam kasus ini guru menjadi
penyebar informasi hoax, artinya sosok yang seharusnya berada di garda depan
memerangi hoax malah berkebalikan menjadi pelakunya. Seharusnya seorang guru
yang menjadi teladan bagi siswanya memahami lebih dulu informasi yang beredar,
membaca, dan mecari data-data valid sebelum menyebarkannya.
Belakangan, viral beredar informasi tentang registrasi ulang
SIM Prabayar untuk semua nomor ponsel. hampir semua media sosial menampilkan
informasi tersebut. Tak sedikit pula masyarakat kita yang langsung
mempercayainya. Keterbatasan pengetahuan masyarakat akan media sosial membuat
mereka termakan informasi singkat yang beredar. Padahal ada perusahaan resmi
yang menaungi masalah registrasi ulang tersebut. Saya pernah mengabaikan
informasi tersebut yang sempat mampir di pesan pribadi. Bahkan semua grup
whatsapp yang ada di ponsel saya pun mengabarkan berita yang sama. Sampai
sebulan lamanya informasi itu beredar, saya masih mengabaikannya. Sampai suatu
ketika beberapa rekan guru membahasnya di sekolah. Kata mereka, beberapa sudah
berhasil melakukan registrasi, dinyatakan sudah terdaftar, mengalami gangguan,
bahkan ada yang dimintai data lebih banyak seperti tanggal lahir dan nama ibu
kandung. Data-data itu bisa dibilang rawan apabila disebarkan kepada informan
yang belum dipastikan pertanggungjawabannya. Salah-salah bisa terjadi kebocoran
data.
Pelaksanaan registrasi ulang
kartu SIM diwarnai berbagai berita bohong. Kementerian Komunikasi dan
Informatika pun mengimbau masyarakat agar tidak mudah mempercayai berita-berita
bohong tersebut. Dilansir dari www.cnnindonesia.com ada
tiga kebohongan berita registrasi ulang kartu SIM. Pertama, mengenai tidak
wajib registrasi kartu SIM. Kedua, bahwa pendaftaran kartu SIM
terakhir adalah pada tanggal 31 Oktober 2017. Ketiga, hoax bahwa operator akan menyalahgunakan
data dari pelanggan.
Menanggapi berita yang simpang
siur itu, masyarakat harus pandai-pandai mencari kabar yang valid. Ahmad Ramli,
Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kemkominfo menegaskan bahwa
pemerintah mewajibkan registrasi ulang tujuannya untuk memastikan keamanan
semua kalangan masyarakat.
Kita sebagai konsumen media harus melakukan kroscek kepada
pihak-pihak yang terkait dengan informasi tersebut. Misalnya, dengan membuka
website resmi, mengunjungi kantor yang bersangkutan, atau yang paling ringan
mendengarkan cerita orang dekat tentang pengalamannya melakukan registrasi.
Meski hal ini belum terjamin kevalidannya, namun kita sudah mempunyai banyak
referensi untuk menentukan pilihan atau menindaklanjuti informasi yang beredar.
Menghadapi kasus maraknya berita bohong di kalangan
masyarakat, konsumen media harus berlaku cerdik. Mungkinkah data-data pribadi yang
diminta untuk registrasi ulang akan kita dibagikan begitu saja. Kita harus
mempertimbangkan efek jangka panjangnya. Data yang sifatnya pribadi itu
berkaitan dengan penggunaan akun baik di media sosial ataupun perbankan. Nah,
kalau sudah menyangkut soal uang di bank ini menjadi sangat sensitif. Si
panjang tangan era digital sudah mulai gentayangan di mana-mana. Hanya dengan
beberapa klik saja uang kita sudah bisa berpindah tangan ke rekening lain.
Tidak hanya itu, data-data pribadi kita juga bisa disalahgunakan untuk
melakukan tindak kejahatan. Bukan hal yang mustahil apabila akhirnya kita jadi
berurusan dengan polisi. Kalau sudah begini kasusnya menjadi panjang. Si
pemilik data bisa menjadi korban atau bahkan dituduh sebagai pelaku kejahatan.
Tidak perlu menunjuk pihak lain
untuk mengatasi hal ini, karena sebelum terjadi kasus kita harus lebih dulu
melakukan pencegahan. Apalagi bagi guru yang menjadi teladan bagi peserta
didiknya. Apapun yang disampaikan guru, siswa hanya sami’na wa’ata’na
(dengar dan taat). Beruntung apabila siswa tergolong cerdik dan pandai
menyeleksi informasi-informasi melalui media sosial. Untuk itu mari kita
mengedukasi siswa tidak hanya di dalam ruang kelas saja, namun lingkungan
sekitar yang notabene adalah pembelajaran tanpa batas. Kaum terpelajar bisa
memerangi informasi bohong dengan bijak. Jangan mudah percaya dengan informasi
yang sifatnya instan harus melalui penelitian atau kroscek lapangan, sehingga kita mempunyai punya data yang
valid.
Minimnya minat baca masyarakat juga menjadi satu faktor yang
menyebabkan berita bohong tersebar luas dengan mudah. Banyak konsumen media
yang enggan membaca berita singkat yang masuk di beranda, namun rajin untuk
men-sharenya. Bisa jadi supaya dibilang melek literasi, rajin membaca, update
berita, menaikkan rating, atau hal lain. Kita berharap para penyebar berita
instan di media sosial mempunyai tajuan baik untuk mengedukasi masyarakat.
Literasi menjadi kunci membuka pengetahuan untuk memerangi
berita bohong di kalangan masyarakat. UNESCO mencatat bahwa minat baca
masyarakat Indonesia baru mencapai 0,001 persen yang artinya dari seribu
masyarakat Indonesia yang ada tercatat hanya satu yang memiliki kemampuan
literasi.
Minat baca yang rendah diyakini sebagai problem literasi yang
paling memprihatinkan masyarakat Indonesia. Merekonstruksikan suatu tatanan
masyarakat baru dan bercirikan masyarakat yang belum melek untuk membaca.
Membuat wacana diyakini sebagai suatu kebenaran yang tak perlu dikritisi, tak
heran kabar burung yang sarat dengan unsur kebohongan sering lalu-lalang
mengisi linimasa seluler masyarakat Indonesia. Fenomena tersebut sedikit banyak
merupakan andil dari rendahnya kemampuan literasi masyarakat Indonesia. Hal
yang perlu dilakukan hanyalah mengubah dan mengoptimalisasikan budaya literasi.
Perangi berita hoax mulai dari
diri sendiri. Apabila mendapat informasi yang belum tentu kebenarannya jangan
langsung dipercaya. Kroscek lebih dulu kebenarannya, minimal pernah ada media
yang memuat informasi yang sama atau setidaknya pernah muncul di media
menandakan bahwa informasi itu benar adanya. Jika ternyata informasi bohong
sebaiknya simpan saja untuk diri sendiri, setidaknya kita sudah memutus mata
rantai informasi hoax. Bahkan bila perlu nasihati penyebar infomrasi yang
sampai kepada kita. (*)
#antihoax
#marimas
#pgrijateng









