Polemik Rancangan Undang-Undang tentang
Pemilihan Kepala Daerah berujung ketok palu pengesahan UU kontroversial
tersebut dalam rapat paripurna DPR. Dari hasi voting, 135 anggota dewan memilih
opsi pilkada langsung dan 226 memilih pilkada oleh DPRD (Okezone, 27/9).
Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD tentu saja
menimbulkan perdebatan, kericuhan politik bahkan apriori dan rasa skeptis
sebagian masyarakat. Bumbu dan aroma kepentingan beradu di sekitar silang
pendapat di gedung parlemen, media dan ruang diskusi publik. Setelah RUU
Pilkada disahkan, publik menanggapinya dengan beragam sikap.
Sebagian besar kalangan akademisi, tokoh nasional, aktivis
dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ramai-ramai menolak mentah-mentah
pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Dalil penolakan cukup sederhana, sebuah
kemunduran demokrasi. Kalangan yang kontra terhadap UU Pilkada ini berencana
menggugat ke Mahkamah Konstitusi.
Pasca reformasi, pemilihan kepala daerah
dilakukan secara langsung oleh rakyat. Hal ini didasarkan pada jemunya publik
yang telah dikerangkeng hak demokrasinya selama rezim orde baru berkuasa.
Namun pilkada langsung bukan tanpa masalah.
Mulai dari politik uang, kisruh dan ancaman disintegrasi, pemborosan uang
negara hingga menjamurnya korupsi yang
dilakukan kepala daerah untuk mengembalikan biaya kampanye. Belum lagi Mahkamah
Konstitusi yang kewalahan menangani sengketa hasil pilkada.
Setiap peraturan pasti memiliki kelebihan dan
kekurangan. Pilkada oleh DPRD dapat mengurangi pemborosan uang negara, mencegah
ancaman kekisruhan dan politik uang. Masyarakat juga tidak dijejali kebosanan
dengan seringnya agenda pemilihan umum. Anggaran daerah bisa terserap lebih
banyak untuk kemakmuran rakyat.
Pihak paling dirugikan dari sahnya RUU
Pilkada adalah lembaga survai yang terancam gulung tikar. Juga penyedia baliho,
pencetak kartu suara, PPS, KPPS dan
masyarakat yang doyan menerima politik uang.
Selebihnya, rakyat tidak banyak dirugikan dan
demokrasi tidaklah mundur. Hasil pemilihan kepala daerah langsung yang banyak
diantaranya terlibat KKN, lupa rakyat saat menjabat, dan tidak banyak perubahan
berarti justru membuat angka patisipasi pemilih semakin menurun sementara
pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya (golput) semakin meningkat.
Kekhawatiran adanya transaksi jabatan antara
calon kepala daerah dengan oknum anggota DPRD adalah berlebihan. Ada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, Kepolisian dan media masa yang siap
mengawal pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Publik juga semakin kritis dan siap
mengawal.
Justru, demokrasi semakin maju dan asas
perwakilan (representative) semakin dikedepankan. Esensi demokrasi
adalah mensejahterakan rakyat dengan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Bukan
semata-mata pemilihan langsung setiap level pimpinan oleh rakyat. Itu
membosankan. Dalam sila kelima dasar negara disebutkan, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Sudahlah. Tidah usah lagi menjadi perdebatan.
Penulis : Adi Esmawan, Editor www.substansi.com









