Flash News

Sumber Informasi Tanpa Basa Basi

Mail Instagram Pinterest RSS
Main Menu

UNTUNG RUGI PILKADA DPRD

Polemik Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah berujung ketok palu pengesahan UU kontroversial tersebut dalam rapat paripurna DPR. Dari hasi voting, 135 anggota dewan memilih opsi pilkada langsung dan 226 memilih pilkada oleh DPRD (Okezone, 27/9).

Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD tentu saja menimbulkan perdebatan, kericuhan politik bahkan apriori dan rasa skeptis sebagian masyarakat. Bumbu dan aroma kepentingan beradu di sekitar silang pendapat di gedung parlemen, media dan ruang diskusi publik. Setelah RUU Pilkada disahkan, publik menanggapinya dengan beragam sikap.

Sebagian besar  kalangan akademisi, tokoh nasional, aktivis dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ramai-ramai menolak mentah-mentah pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Dalil penolakan cukup sederhana, sebuah kemunduran demokrasi. Kalangan yang kontra terhadap UU Pilkada ini berencana menggugat ke Mahkamah Konstitusi.

Pasca reformasi, pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat. Hal ini didasarkan pada jemunya publik yang telah dikerangkeng hak demokrasinya selama rezim orde baru berkuasa.  

Namun pilkada langsung bukan tanpa masalah. Mulai dari politik uang, kisruh dan ancaman disintegrasi, pemborosan uang negara hingga menjamurnya  korupsi yang dilakukan kepala daerah untuk mengembalikan biaya kampanye. Belum lagi Mahkamah Konstitusi yang kewalahan menangani sengketa hasil pilkada.

Setiap peraturan pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Pilkada oleh DPRD dapat mengurangi pemborosan uang negara, mencegah ancaman kekisruhan dan politik uang. Masyarakat juga tidak dijejali kebosanan dengan seringnya agenda pemilihan umum. Anggaran daerah bisa terserap lebih banyak untuk kemakmuran rakyat.

Pihak paling dirugikan dari sahnya RUU Pilkada adalah lembaga survai yang terancam gulung tikar. Juga penyedia baliho, pencetak kartu suara,  PPS, KPPS dan masyarakat yang doyan menerima politik uang.

Selebihnya, rakyat tidak banyak dirugikan dan demokrasi tidaklah mundur. Hasil pemilihan kepala daerah langsung yang banyak diantaranya terlibat KKN, lupa rakyat saat menjabat, dan tidak banyak perubahan berarti justru membuat angka patisipasi pemilih semakin menurun sementara pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya (golput) semakin meningkat.

Kekhawatiran adanya transaksi jabatan antara calon kepala daerah dengan oknum anggota DPRD adalah berlebihan. Ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, Kepolisian dan media masa yang siap mengawal pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Publik juga semakin kritis dan siap mengawal.

Justru, demokrasi semakin maju dan asas perwakilan (representative) semakin dikedepankan. Esensi demokrasi adalah mensejahterakan rakyat dengan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Bukan semata-mata pemilihan langsung setiap level pimpinan oleh rakyat. Itu membosankan. Dalam sila kelima dasar negara disebutkan, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Sudahlah. Tidah usah lagi menjadi perdebatan.


Penulis : Adi Esmawan, Editor  www.substansi.com